Oleh: Dewi Lestariningsih (Mahasiswa IAIN Surakarta)
Wabah Corona Virus Disease atau lebih dikenal dengan nama virus korona atau covid-19 yang pertama kali terdeteksi muncul di cina tepatnya di Kota Wuhan Tiongkok pada akhir tahun 2019, mendadak menjadi teror mengerikan bagi masyarakat dunia, terutama setelah merenggut nyawa ratusan orang dalam waktu yang relatif singkat. Hampir kurang lebih 200 Negara di Dunia terjangkit virus korona termasuk Indonesia. Berbagai upaya dalam rangka pencegahan, pengobatan dan sebagainya pun telah dilakukan dalam mencegah penyebaran virus corona, hingga lockdown dan social distancing di kota-kota besar sudah dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus korona. Dalam Islam wabah virus korona ini merupakan sebuah ujian bagi suatu kaum agar selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Islam juga mengajarkan istilah lockdown dan social distancing dalam rangka pencegahan penularan penyakit, sebagian para ulama menyebutkan Istilah penyakit ini disebut dengan Tho’un yaitu wabah yang mengakibatkan penduduk sakit dan berisiko menular.
Istilah lockdown dan social distancing ini juga dianjurkan dalam ajaran Islam, dikutip dari http://www.hidayatullah.com Jauh sebelum kasus ini muncul, telah terdapat juga sebuah wabah yang dikenal dengan istilah Tho’un. Lalu apakah Corona bisa disamakan dengan tho’un. Melihat definisi para Ulama, wabah Corona ini tidak bisa dikategorikan tho’un, karena tho’un lebih khusus dan spesifik dibandingkan dengan wabah, namun walaupun berbeda dari sisi penamaan, penyakit ini sama-sama berbahaya dan menular yang tidak bisa disepelekan. Jika dirunut dari sejarah terjadinya, penyakit-penyakit wabah semacam corona ini atau pun tho’un, sudah ditemukan sejak masa Nabi Muhammad SAW. dan bahkan jauh sebelum Nabi diutus, yaitu pada zaman Bani Isra’il. Sehingga pada akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah di rumah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19.
Meskipun wabah penyakit Covid-19 dalam catatan sejarah Islam masih menjadi perdebatan dan kontroversial baik di kalangan ulama, kyai, ustadz, bahkan di media-media sosial, dan cenderung di kait-kaitkan satu sama lain. Namun faktanya wabah penyakit Covid-19 ini memang sangat mirip kasusnya seperti wabah penyakit yang menyerang kaum muslim di masa lalu. Misalnya dalam sejarah Islam bisa kita simak tentang wabah penyakit yang terjadi pada masa kaum muslimin menaklukkan Irak dan Syam. Setelah Peperangan yang sangat sengit di Yarmuk, kemudian kaum muslimin menetap di Negeri Syam. Setelah itu datanglah wabah penyakit korela yang menelan kurang lebih 25.000 jiwa pada saat itu. Oleh karena itulah tidak heran jika para ulama, kyai, ustadz, peneliti dan yang lainnya mengaitkan peristiwa ini dengan wabah penyakit Covid-19. Karena memang wabah penyakit tersebut secara sekilas sangat mirip dengan wabah Covid-19 yang terjadi saat ini yang menelan puluhan ribu jiwa. Kajian Islam ilmiah pun disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 14 Rajab 1441 H / 09 Maret 2020 M. saat ini manusia banyak membicarakan tentang suatu musibah yang besar yang ditakuti oleh kebanyakan manusia, yaitu virus yang terkenal dengan virus Corona. Yang mana manusia banyak membicarakan tentang pengaruh dan bahaya yang ditimbulkan oleh virus ini. Juga mereka membicarakan tentang cara untuk menghindar dan selamat dari virus tersebut. Kemudian beliau memaparkan tentang petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan cara-cara yang dapat menerangkan jalan seorang mukmin untuk menghadapi permasalahan seperti ini. Diantara petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang sangat agung yaitu bahwasanya seorang hamba tidak akan ditimpa suatu musibah kecuali Allah telah menuliskan dan mentakdirkan musibah tersebut. Allah SWT. berfirman: “Katakanlah: Tidak akan menimpakan kami kecuali apa yang Allah telah tuliskan untuk kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakal orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah[9]: 51).
Maka tidaklah seorang hamba ditimpa satu musibah kecuali apa yang Allah telah tuliskan kepadanya. Maka sungguh seorang hamba sangat butuh dalam kondisi seperti ini untuk selalu memperbaharui keimanannya, memperbaharui keyakinannya terhadap takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bahwasanya semua yang ditulis pasti terjadi. Dan apa yang menimpa seorang hamba tidak akan meleset darinya dan apa yang meleset dari seorang hamba tidak akan menimpanya dan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala inginkan pasti terjadi dan apa yang Allah tidak inginkan tidak akan terjadi. Apabila manusia berhadapan dengan persoalan lingkungan hidup saat ini, muncullah pertanyaan yang mengungkapkan bahwa kenapa agama-agama besar di dunia ini dengan ajaran moral dan peri kemakhlukannya, tidak atau kurang berperan untuk ikut memecahkannya. Namun, jika diperhatikan faktor-faktor yang membawa kepada perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, akan tampak bahwa penyebab pokoknya terletak pada materialisme yang melanda dunia saat ini. Umat manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan materi yang sebanyak mungkin. Dalam mengumpulkan kekayaan materi, orang tidak segan menebang pepohonan di hutan-hutan, menjaring sebanyak mungkin ikan di laut termasuk bibit-bibitnya, menguras bahan mineral di perut bumi, membuang limbah ke air, darat, dan udara. Hal ini menunjukkan bahwa tidak atau kurang adanya perhatian kepada ayat Al-Qur’an, walaupun 15 abad yang lalu ayat Al-Qur’an memberikan peringatan kepada manusia bahwa kerusakan timbul di darat, dan di laut karena perbuatan manusia (Surah Ar-Rum ayat 41). Saat ini apa yang dikatakan Al-Quran tersebut terbukti jelas. Timbullah masalah lingkungan hidup, karena kerakusan manusia terhadap materi. Oleh karena itulah kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan menjadi terancam akibat ulah manusia itu sendiri. Dengan penjelasan tersebut, maka dapat kita ketahui bahwa virus Covid-19 pun bisa jadi disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri yang tanpa disadari, sehingga Allah SWT memberikan peringatan kepada kita untuk selalu ingat kepada Allah SWT.
Dakwah menurut etimologi (bahasa) berasal dari kata bahasa Arab yaitu da’a yad’u da’watan yang berarti mengajak, menyeru, dan memanggil. Menurut yaikh Ali Makhfudz, dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin memberikan definisi dakwah Islam yaitu mendorong manusia agar berbuat kebaikan danmengikuti petunjuk (hidayah), menyeru mereka berbuat kebaikan dan mencegah darikemungkaran, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kemudian menurut Prof Dr. Hamka dakwah adalah seruan panggilan untuk menganut suatupendirian yang ada dasarnya berkonotasi positif dengan substansi terletak pada aktivitas yang memerintahkan amar ma’ruf nahi mungkar. Dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh informan (da’i) untuk menyampaikan informasi kepada pendengar (mad’u) mengenai kebaikan dan mencegah keburukan. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan menyeru, mengajak atau kegiatan persuasiflainnya. Dakwah menjadikan perilaku Muslim dalam menjalankan Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin yang harus didakwahkan kepada seluruh manusia, yang dalam prosesnyamelibatkan unsur: da’i (subyek), maaddah (materi), thoriqoh (metode), wasilah (media), danmad’u (objek) dalam mencapai maqashid (tujuan) dakwah yang melekat dengan tujuanIslam yaitu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Islam sebagai agama merupakan penerus dari risalah-risalah yang dibawa nabi terdahulu,terutama agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nasrani. Islam diturunkan karenaterjadinya distorsi ajaran agama, baik karena hilangnya sumber ajaran agama sebelumnyaataupun pengubahan yang dilakukan pengikutnya. Dalam agama Nasrani misalnya, hinggasaat ini belum ditemukan kitab suci yang asli.
Wasilah (media) dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada madu. Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat mengunakan berbagai wasilah. Hamzah Ya
qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu: lisan, tulisan, lukisan, audiovisual dan akhlak. Adapun tujuan tujuan dakwah dalam hal ini dapat membawa manusia kepada kebajikan, kesucian, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keselamatan dunia dan akhirat, karena sudah merupakan fitrah manusia sejak lahir untuk menjadi suci, sehingga manusia selalu cenderung kepada kebaikan, 38 kebenaran, kesucian, dan segala sifat yang identik dengan itu. (Anwar Arifin, 2011: 24) Secara umum tujuan dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah SWT. Adapun tujuan dakwah, pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua macam tujuan, yaitu: tujuan umum dakwah (Mayor Objective) dan tujuan khusus dakwah (Minor Objective).
Di tengah menyebarnya pandemi Covid-19 di seluruh dunia, peran pendakwah menjadi sangat penting karena keberadaan dampak merebaknya virus Corona juga mempengaruhi kegiatan beragama masyarakat muslim Tanah Air. Untuk itu, seluruh ulama dan organisasi masyarakat (Ormas) Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk dapat satu suara dalam mengeluarkan arahan dan himbauan kepada umat. Kita sebagai seorang muslim harus bersikap bijak dalam menghadapi situasi saat ini. Kemudian seorang muslim harus bersikap proporsional, tapi sikap proporsional semacam apa yang harus diambil? Karena mereka belum punya pilihan, akhirnya mereka memilih sendiri-sendiri. Dalam hal ini ulama juga punya peran. Tetapi ulama juga harus diberi bahan oleh pemerintah, supaya fatwanya betul-betul tepat.
Perjuangan melawan situasi pandemi Covid-19 merupakan sebuah tugas utama bagi para pendakwah selaku pencerah di masyarakat agar tidak terombang-ambing dikeadaan yang serba tidak pasti ini dan agar masyarakat merasa tenang saat menghadapi pandemic seperti ini. Menurut saya seorang pendakwah sangat penting danlam rangka kampanye pecegahan corona ini, karena dalam salah satu konsep dakwah adalah melakukan perubahan pada sosial, dimana pada perilaku masyarakat yang melanggar etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat hsrus diluruskan agar tidak menyebar dan menjadi penyakit kolektif. Masyarakat harus di bimbing dan diarahkan pada hal hal yang positif dan bermanfaat bagi orang lain. Dan realitas sosial selalu membutuhkan tuntunan sepiritual agar sejalan dangan petunjuk Allah swt.
Nabi Muhammad SAW juga pernah memperingatkan umatnya untuk tidak dekat dengan wilayah yang sedang terkena wabah. Sebaliknya jika berada di dalam tempat yang terkena wabah dilarang untuk keluar. Seperti diriwayatkan dalam hadits berikut ini: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari). Dikutip dalam buku berjudul ‘Rahasia Sehat Ala Rasulullah SAW: Belajar Hidup Melalui Hadist-hadist Nabi’ oleh Nabil Thawil, di zaman Rasulullah SAW jikalau ada sebuah daerah atau komunitas terjangkit penyakit Tha’un, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk mengisolasi atau mengkarantina para penderitanya di tempat isolasi khusus, jauh dari pemukiman penduduk. Tha’un sebagaimana disabdakan Rasulullah saw adalah wabah penyakit menular yang mematikan, penyebabnya berasal dari bakteri Pasterella Pestis yang menyerang tubuh manusia. Jika umat muslim menghadapi hal ini, dalam sebuah hadits disebutkan janji surga dan pahala yang besar bagi siapa saja yang bersabar ketika menghadapi wabah penyakit. “Kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR Bukhari) Selain Rasulullah, di zaman khalifah Umar bin Khattab juga ada wabah penyakit. Dalam sebuah hadist diceritakan, Umar sedang dalam perjalanan ke Syam lalu ia mendapatkan kabar tentang wabah penyakit. Hadist yang dinarasikan Abdullah bin ‘Amir mengatakan, Umar kemudian tidak melanjutkan perjalanan. Berikut haditsnya: “Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilah bernama Sargh. Saat itu Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhori). Dalam hadits yang sama juga diceritakan Abdullah bin Abbas dan diriwayatkan Imam Malik bin Anas, keputusan Umar sempat disangsikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia adalah pemimpin rombongan yang dibawa Khalifah Umar. Menurut Abu Ubaidah, Umar tak seharusnya kembali karena bertentangan dengan perintah Allah SWT. Umar menjawab dia tidak melarikan diri dari ketentuan Allah SWT, namun menuju ketentuan-Nya yang lain. Jawaban Abdurrahman bin Auf ikut menguatkan keputusan khalifah tidak melanjutkan perjalanan karena wabah penyakit.
Melalui metode manhaj haraki. Dimana metodologi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, “metodos” dan “logos”. Kata “methodos” berasal dari dua suku kata, yaitu “metha” yang artinya melalui atau melewati, dan “hodos” yang artinya jalan atau cara. Sedangkan “logos” berarti kata atau pembicaraan. Artinya, metodologi adalah pembicaraan tentang cara melewati sesuatu. Dalam bahasa Indonesia, metodologi diartikan sebagai “ilmu tentang metode” atau “uraian tentang metode”. Dalam bahasa Arab, metodologi disebut juga dengan manhaj. Ahmad Syukri Saleh mengartikan manhaj atau minhaj sebagai “jalan yang terang” berdasarkan analoginya terhadap surah al Ma’idah ayat 48. Adapun manhaj haraki atau metodologi pergerakan, diartikan oleh Muhammad Ali Iyazi sebagai metode tafsir terperinci (tahlily), yang didasarkan pada naungan penjelasan Allah dalam kitab-Nya, yang kemudian dikaitkan dengan pergerakan penafsir di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin. Tafsir ini bertujuan untuk membangun masyarakat Islam dan membantu mereka agar terlepas dari jeratan masyarakat yang jahiliyyah di masa sekarang dengan cara-cara yang sama seperti di masa awal umat Islam. Jadi, metodologi tafsir pergerakan al Quran adalah uraian tentang metode menafsirkan al Quran yang mengikuti pergerakan penafsir dalam masyarakat sesuai dengan pergerakan atau manhaj al Quran untuk memengaruhi kaum muslimin kontemporer.
Dengan demikian keberadaan pendakwah itu sangatlah strategis didalam kehidupan masyarakat. Maka bersinergi dengan berkoordinasi bersama pihak otoritas yang berwenang seperti MCCC atau pemerintah dan para pekerja kesehatan untuk menyatukan informasi, sehingga dapat disampaikan kepada masyarakat dalam pemahaman yang sama menghadapi pandemi ini. Mubaligh harus paham akan suasana, memberikan pencerahan yang sifatnya burhani yaitu penjelasan yang bersifat ilmiah dan memberikan pencerahan yang sifatnya spiritual dan perspektif yang positif harus dibangun.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syukri Saleh.Metodologi Tafsir Al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman. Sulthan Thaha Press, Jakarta, 2007.
Drs. Wahidin Saputra, M.A., Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta, 2011
Dakwah dan majalah http://eprints.walisongo.ac.id/3482/3/091211003_Bab2.pdf
https://www.researchgate.net/publication/340632583_WABAH_CORONA_VIRUS_DISEASE_COVID_19_DALAM_PANDANGAN_ISLAM
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) http://kbbi.web.id/metodologi
Wikipedia, Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Metodologi
http://www.hidayatullah.com